Hapus Social Media?


Dulu dan Sekarang

Gue baru aja hapus akun social media gue. Iya, facebook, akun gue itu udah resmi gue hapus –dan juga twitter baru-baru ini aja pas rilis konten ini. Pukul 00:00 WIB di hari Kamis, 24 Maret 2022 yang lalu, di saat itu lah gue hapus. Kenapa gue hapus? Inilah yang bakal gue bahas ditulisan kali ini. Simak terus.

Sebelum jelasin hal itu, gue pengen kita sadar bahwa kita hidup di era informasi terbuka. Terkhususnya lima tahun terakhir bahkan lebih, informasi sekarang beredar sangat teramat cepat. Minusnya, sangkin cepatnya informasi ini, kita seakan-akan kehilangan cara berpikir kita. Kita terjebak dengan asumsi internet selalu benar. Di lain sisi, informasi yang cepat dan faktual ini ternyata tidak semuanya layak dan butuh untuk kita konsumsi sehari-hari.

Gue enggak benci hidup atau terlahir dan besar di era sekarang ini, enggak sama sekali. Bahkan gue bersyukur dengan kemajuan informasi dan teknologi di masa sekarang ini, segala halnya menjadi lebih mudah, dan transparan tentunya. Iya walaupun ada sisi minusnya juga, pasti. Satu dekade yang lalu, social media enggak seramai sekarang ini. Penggunanya rata-rata pelajar dan anak muda. Gue enggak melakukan riset besar-besaran, gue hanya mengambil contoh dalam kehidupan gue pribadi aja. Di masa itu, enggak semua orang punya social media. Gue tahu karena gue mencoba mencari di search engine, nama teman-teman gue, guru gue, aktor dan aktris, atlet idola, dan masih banyak lagi. Hasilnya adalah enggak semua yang gue cari itu punya social media –saat itu.

Berbeda dengan masa sekarang ini, social media malah seakan-akan sebagai gaya hidup, ada pula jenis pekerjaan yang diharuskan untuk menyertakan akun social media nya saat melamar kerja. Ada pula anggapan social media juga bisa menjadi peluang bisnis yang menjanjikan. Lewat social media, kita bisa beriklan, dan juga mempromosikan diri ataupun projek perkerjaan kita. Iya gue setuju dengan hal ini, tapi fakta nya adalah enggak semua orang ladang pekerjaan nya itu ada di social media.

Apakah berarti kalau enggak bermain social media kita kehilangan peluang? Kemungkinan iya, tapi bisa juga enggak. Semuanya bergantung jenis atau bidang pekerjaannya. Apakah social media dapat menaikan penjualan produk atau menambah pendapatan lu? Apakah akan mengalami penurunan pendapatan hanya karena enggak bermain social media? Hal yang gue bahas adalah khusus social media ya, bukan berarti menjadi anti internet dan teknologi. Selagi enggak menggangu pekerjaan kita, kenapa harus punya social media? Kenapa harus aktif atau online setiap saat? Memang nya apa yang mau dicari sih sebenarnya? Apakah ingin tahu kabar teman? Kenapa enggak langsung datangi rumah nya aja? Kalau bisa ketemu fisik kenapa harus dibatasi layar? Atau kenapa enggak langsung kasih nomor WA lu, terus jujur kalau mau cerita atau ngobrol? Atau kirim Direct Message?

Atau ingin tahu kabar kota tempat tinggal lu dan sekitar nya? Kenapa enggak dengar radio yang berlokasi di kota lu? Bukan kah mereka juga update berita juga, apalagi mereka adalah hitungan jurnalis yang resmi yang berarti memiliki tim redaksi dalam bekerja? Jadi, sebenarnya apa yang lu cari? Kabar apa dan siapa yang ingin lu tahu? Kehidupan mantan atau gebetan? Kenapa enggak langsung chat aja di social media nya dibanding stalking –intip profil socmednya– enggak jelas, dan berharap lebih ke orang tersebut?

Buang-Buang Waktu

Bukankah lu membuang-buang waktu lu? Informasi yang lu terima itu terlalu banyak dan ternyata enggak bisa diolah atau diaplikasiin untuk kehidupan nyata lu. Emang kalau dengar berita viral, guna nya untuk hidup lu satu hari ke depan bakal jadi apa? Emang kalau lu tahu seorang selebgram berbuat mesum dan videonya ke sebar di internet, hidup lu bakal gimana? Emangnya kalau lu lihat crazy rich pamer harta nya itu di internet, lu bakal dapat apa? Hal apa yang lu harapin dari dia? Emangnya kalau lu tahu seorang orang melakukan pencucian uang secara online, hidup lu bakal gimana? Apakah lu jadi kaya secara materi dengan tahu info tersebut?

Lantas, kalau hampir semua jawabannya enggak, kenapa harus buang-buang waktu sekian lama? Bahkan info yang lu dapat enggak bisa diolah buat di kehidupan nyata. Infonya enggak relevan buat pekerjaan lu, pertemanan lu, kehidupan pribadi lu, atau kehidupan spiritual lu. Jadi kenapa harus lu ikutin berita itu? Bukankah waktu lu jadi lebih berharga, ketika hal yang lu kerjain itu bisa memberi manfaat bagi lu dan orang sekitar? Seperti hal nya lu bernyanyi lu bisa menghilangkan penat, lu nongkrong bonding atau chemistry lu dengan teman-teman lu jadi lebih klop. Lu berolahrga tubuh lu jadi lebih bugar, dan lebih maskulin bentukannya.

Buat gue pribadi main social media itu, cukup menguras energi. Sebagai pengguna akun, secara otomatis lu disuguhin dengan saran-saran informasi. Dari yang perlu sampai yang benar-benar enggak perlu. Semisalnya lu adalah seorang karyawan swasta di bidang asuransi, terus social media lu disuguhin informasi “Cara melakukan tendangan sudut ala David Beckham”. Kan enggak relevan. Atau lu seorang laki-laki tulen terus lu dapat promo iklan pakaian perempuan dengan harga murah. Buat apa?

Belum lagi informasi bunuh dirinya artis Tiongkok di saat sedang jaya nya. Terus kenapa? Bakal gimana emang hidup lu? Bukan kah hampir enggak terjadi apa-apa ya sama hidup lu? Jadi kenapa lu harus berbakti ke social media itu, dengan bermenit-menit, bahkan berjam-jam setiap harinya untuk mengecek notifikasi atau cek timeline?

Lebih sedihnya lagi adalah lu hebat bergaul di socmed, tapi cemen di kehidupan nyata, kayak lu aja enggak pernah main bareng teman-teman. Atau lu enggak ngerti sopan santun dalam berteman terlebih berkunjung ke rumah teman lu –buat gue sih ini benar-benar memalukan dan jadi malas lihat orang tersebut. Follower di socmed angkanya sampai 1000 atau 2000 lebih, tapi nyatanya di kehidupan nyata sering banget dijauhin orang atau dibenci karena satu-dua hal –pembawaan diri, cara ngomong, cara memperlakukan orang, cara menghadapi situasi, minimnya empati dan rasa hormat ke orang lain atau sikon orang tersebut, cara bersikap ke orang yang berbeda usia, dsb.

Menjauhkan yang Dekat

Enggak heran lu pastinya pernah mendengar sekali seumur hidup lu tentang pernyataan bahwa Social media mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat. Gue ngerasain banget hal ini pas SMA. Bayangkan gue dulu sebagai anak-anak sebelum ada nya socmed bebas main kemana-kemari, ngobrol, bercanda-canda, dan main juga pastinya lebih seru kalau ramai-ramai –pengecualian kalau lu hobi main Game Console– terus beranjak gede ada perubahan pola hidup di lingkungan gue yaitu, pacaran, ngobrol, nyanyi, dsb. Yang malahan dibungkus dalam rekam digital. Iya, semuanya dilakukan serba hape dan social media.

Di lingkungan gue enggak sedikit yang malahan ketika ngumpul ujung-ujung nya malah sibuk sama hape sendiri. Hal ini gue rasa terjadi juga di kehidupan orang lain termasuk lu. Mungkin enggak lu yang alamin tapi bisa jadi orang sekitar lu. Makanya pola masyarakat ini pernah disindir di beberapa iklan minuman di tv, yang diperagakan ketika semua anggota keluarga duduk di meja makan dan malah sibuk dengan hapenya dan ada orang tua yang enggak diperhatikan hidupnya.

Sedih bukan? Tapi itu kenyataan pola hidup masyarakat hari ini. Makan bersama pun sekarang enggak bernilai seperti dulu. Dulu makan bersama adalah hal yang sangat diusahakan untuk menjaga chemistry, wadah untuk pendekatan, dan semacamnya. Sekarang tren ini berubah jadi sekadar absen wajah aja –sibuk main hape nya. Iya, emang enggak ada sih aturan tertulis dan sah kalau makan bersama itu enggak boleh main hape –saat bersama orang lain. Tapi kalau sekadar absen muka aja pas makan bersama itu keterlaluan sih. Dari pada kita enggak ngehargain orang yang ada di depan kita, jadi bikin tersinggung, mending enggak usah ikut makan bersama.

Iya, jadi, menurut gue main hape ini khususnya socmed cukup membuat kita kehilangan akal, kehilangan kesadaran diri untuk bisa setop dan mengendalikan diri sendiri. Kita seakan-akan nurut aja sama tangan, mata dan badan kita untuk buka hape terus focus menyimak informasi yang ada, bahkan sampai hal beribadah. Ada loh yang main socmed sambil beribadah, biasanya ini terjadi kalau aja si pemuka agama dianggap kurang kena di hati si pelaku ini. Atau juga karena sehabis ibadah akan ada agenda lain, lebih konyol lagi iya karena bosan aja.

Cukup memprihatinkan. Ibadah adalah suatu ritual yang sacral harus dinodai dengan ego manusia yang enggak paham arti ibadah atau waktu khusus menghadap Tuhan. Ini pun akhirnya pernah disindir oleh banyak tokoh agama –di lingkungan gue soalnya terjadi. Bermain socmed seru memang, tapi akan merugikan kita kalau kita sudah kecanduan. Pada dasarnya segala sesuatu kalau sudah candu ya enggak baik juga. Dengan main social media lu jadi enggak memerhatikan orang tua lu, lu jadi suka menunda-nunda pekerjaan, lu jadi enggak memberikan waktu lu sepenuhnya ketika berteman, dan juga jadi orang yang cemen karena beraninya stalking mantan atau gebetan dan malah enggak jujur soal perasaan yang dipendam. Sampai lupa kalau ternyata seluruh tubuh kita ini sudah diambil alih oleh hape kita sendiri, dan sudah mengabaikan hal yang nyata yang ada di depan mata.

Alasan dan Penutup

Gue memutuskan berhenti bermain social media dan hapus akun karena beberapa hal tersebut. Menurut gue banyak hal yang gue korbankan juga karena main social media. Seperti waktu yang ada yang diberikan Tuhan itu jadi menguap gitu aja tanpa arti. Juga banyak informasi yang sebenarnya enggak perlu gue terima di saat ini atau bahkan sama sekali enggak relevan. Gue enggak mau sisihin waktu gue untuk hal yang enggak relevan, enggak ngasih konstribusi bagi kehidupan gue ataupun orang-orang di sekitar gue. Gue juga lagi benar-benar belajar menghargai teman secara nyata. Kembali ke norma masyarakat yang pada kalanya. Pertemuan fisik adalah suatu kesempatan yang bernilai. Gue sedang mencoba menghargai hal tersebut. Dengan pertimbangan inilah gue menghapus facebook dan twitter gue. Apakah akan ada lagi socmed lain yang bakal gue hapus?

Kita lihat nanti aja ya. Hehe. Sampai jumpa ditulisan gue berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi: Novel Bukan Impian Semusim

11 Fakta Kaum Introvert

Mengenal Genre Musik Blues